Sampit | tajukjurnalis.net
Permasalahan bermula sejak ditandatanganinya surat kuasa pendamping oleh ATUT sebagai pihak pertama kepada M. ALPIAN sebagai pihak kedua, tertanggal 21 Desember 2021. Surat tersebut berisi penyerahan tugas kepada ALPIAN untuk mengurusi pengembalian hak atas lahan perkebunan sawit milik pihak pertama seluas lebih dari dua puluh hektar.
Namun, setelah bertahun-tahun, M. ALPIAN selaku pihak kedua tidak memberi kabar. Tiba-tiba ia datang untuk meminta hak setelah sebagian lahan perkebunan milik ATUT dikembalikan oleh PT KMA. Hal ini memicu perselisihan antara kedua belah pihak. Pihak keluarga ATUT merasa M. ALPIAN tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai penerima kuasa. Sementara itu, ALPIAN membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak bisa berkomunikasi karena nomor ponselnya diblokir oleh keluarga ATUT, sehingga sulit dihubungi.
Masalah ini pun berlarut-larut hingga akhirnya M. ALPIAN membawa persoalan ini ke Damang Kepala Adat Kecamatan Mentaya Hulu. Proses tersebut menghasilkan Surat Kesepakatan Bersama tertanggal 5 Mei 2025 antara M. ALPIAN dan BUDIONO, cucu dari ATUT. Bahkan BUDIONO bersama ibunya, DARMAWATI, telah mengeluarkan dana sebesar Rp.27.000.000 yang diterima oleh RIIDUANSYAH, selaku mantir adat, sebagai biaya perkara sesuai penjelasan mantir.
Pada rapat mediasi lanjutan tertanggal 27 Juni 2025, pihak BUDIONO dan DARMAWATI kembali diminta membayar Rp60.000.000 atas tuntutan M. ALPIAN, yang juga disaksikan langsung oleh Damang Kepala Adat Kecamatan Mentaya Hulu.
Namun, pembayaran tersebut akhirnya tidak terjadi. Hal ini bermula dari temuan bahwa surat kesepakatan tersebut dinilai cacat hukum. Muliady Djufri, salah satu kuasa dan pendamping dari keluarga ATUT, menjelaskan bahwa kesepakatan apapun antara M. ALPIAN dengan BUDIONO dan DARMAWATI dianggap tidak sah secara hukum karena tidak memiliki dasar atau payung hukum yang jelas. Menurutnya, BUDIONO dan DARMAWATI tidak memiliki hak untuk bertindak atas nama ATUT karena tidak memiliki surat kuasa, walaupun ATUT adalah kakek dari BUDIONO. ATUT masih hidup, dan legalitas lahan perkebunan sawit tersebut juga belum berpindah tangan ke ahli warisnya.
Dalam penjelasannya, Muliady juga berkali-kali menyampaikan permohonan maaf agar penjelasannya tidak disalahpahami oleh Ketua Adat dan mantir. Ia menegaskan bahwa dirinya hanya ingin meluruskan situasi agar lembaga adat yang sangat ia hormati tidak ikut terseret dalam permasalahan yang tidak memiliki dasar hukum kuat. Ia juga menyatakan bahwa ia menghargai niat baik lembaga adat dalam mengutamakan perdamaian dan berharap marwah lembaga tersebut tetap dijaga dengan baik oleh para pengurusnya.
Respon juga datang dari RUSPANDI, perwakilan dari PPSDM Kotim. Ia sangat menyayangkan situasi ini dan mempertanyakan kinerja serta tanggung jawab M. ALPIAN sebagai penerima kuasa selama empat tahun. Ia menilai permintaan bagian oleh ALPIAN di luar kewajaran.
Sementara itu, Damang Kepala Adat Kecamatan Mentaya Hulu tetap menyikapi persoalan ini secara bijak. Meskipun merasa dipermainkan, ia tetap mengembalikan penyelesaian masalah ini kepada M. ALPIAN dan BUDIONO agar dibicarakan secara kekeluargaan dan dengan niat baik. Ia menegaskan bahwa sejak awal, lembaga adat tidak pernah mengeluarkan keputusan apapun dan hanya bertindak sebagai saksi. Ia pun tidak menyangka bahwa semuanya berakhir seperti ini.
DARMAWATI dan BUDIONO, ibu dan anak tersebut, juga tidak menyangkal kekeliruan mereka. “Kami tidak tahu aturan dan hukum, karena kami sekolahnya pas-pasan saja,” ujar mereka. “Tiada lain yang bisa kami sampaikan selain permohonan maaf kepada semuanya. Kami hanya ingin semuanya baik-baik saja,” pungkas mereka.
(TIM01K)