Sampang, tajukjurnalis.net –
Aksi demonstrasi di Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang, Kamis (15/5), menjadi puncak ledakan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang yang kembali menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Unjuk rasa yang digelar oleh ratusan massa dari Aliansi Masyarakat Jrengik Menggugat (AMJM) bukan hanya menyuarakan aspirasi, tetapi juga menyimbolkan kematian demokrasi lokal—secara harfiah—dengan membakar keranda mayat di depan kantor kecamatan.
Sekitar 300 orang memulai aksi dari Jembatan Desa Jrengik pukul 08.00 WIB, bergerak menuju Kantor Kecamatan Jrengik dengan kawalan ketat aparat kepolisian dan TNI. Massa membawa spanduk, pamflet, selebaran, pengeras suara, dan keranda mayat, yang dibakar sebagai simbol matinya hak politik warga.
Orasi para demonstran menggugat Surat Keputusan Bupati Sampang Nomor 188.45/272/KEP/434.013/2021 yang menunda Pilkades hingga 2025. Orator utama, Rofi, menyebut penundaan yang sudah berlangsung sejak 2021 itu tidak hanya cacat secara politik, tetapi juga cacat hukum, mengingat kewenangan penundaan seharusnya berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan kepala daerah.
“Empat tahun kami dibungkam. Demokrasi desa dikubur hidup-hidup. Ada aroma transaksional jabatan Pj Kades yang harus diungkap,” teriak Rofi dari atas mobil komando.
Demonstran juga menilai Pemkab Sampang terlalu gegabah menafsirkan Surat Edaran Kemendagri 2021. Edaran tersebut hanya memberi waktu dua bulan penundaan dalam konteks darurat pandemi, bukan menjadi dasar legitimasi untuk membekukan Pilkades di 143 desa selama empat tahun.
Tak hanya menolak penundaan, massa juga menuntut agar Pilkades 2025 tidak harus menunggu masa jabatan 37 kepala desa definitif yang belum berakhir. Tuntutan itu dilandasi prinsip kesetaraan hak politik seluruh warga desa, bukan sebagian.
Lima Pernyataan Sorot TajukJurnalis.Net:
1. Simbol kematian demokrasi yang dilakukan warga Jrengik menunjukkan betapa jauhnya jarak antara kebijakan Pemkab dan realitas aspirasi masyarakat akar rumput.
2. Pemkab Sampang patut dipertanyakan soal keputusannya menunda Pilkades di luar kewenangan yuridis yang sah, sebab Permendagri No. 43 Tahun 2014 pasal 57 ayat 2 menyatakan kewenangan itu milik Mendagri, bukan kepala daerah.
3. Debat terbuka antara massa dan pejabat daerah mengungkap ketidaksiapan birokrasi dalam menghadapi kritik publik, terlihat dari jawaban ambigu soal regulasi dasar penundaan.
4. Jika benar ada dugaan transaksi jabatan Pj Kades, maka ini harus menjadi perhatian serius penegak hukum, termasuk KPK, sebab bisa menjadi pintu masuk korupsi kekuasaan di tingkat lokal.
5. Pemkab Sampang wajib memberikan kejelasan hukum dengan menunjukkan salinan regulasi yang mereka jadikan dasar. Jika memang belum ada PP turunan dari UU No. 3 Tahun 2024, maka keputusan menunda Pilkades justru rawan digugat.
Aksi yang sempat menutup poros jalan nasional Bangkalan-Sampang itu berakhir setelah perwakilan massa diterima oleh Camat Jrengik dan Plt Kepala DPMD Sampang, Sudarmanta. Namun, tak ada solusi konkret. Jawaban Sudarmanta bahwa Pilkades “ancer-ancer tahun 2028” hanya memperpanjang keraguan publik.
Sinyal eskalasi demonstrasi semakin terang. Rofi mengancam akan membawa massa lebih besar jika Pemkab tidak segera meninjau ulang kebijakannya.
Krisis legitimasi di desa tak bisa ditunda-tunda. Demokrasi bukan sekadar wacana di ruang rapat—ia hidup atau mati di jalanan, seperti yang ditunjukkan hari ini di Jrengik.
( Red )