Sampang, tajukjurnalis.net –
Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) secara tegas melarang penggabungan Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu (PAW) dengan pemilihan kepala desa serentak tahun 2024. Keputusan tersebut tertuang dalam surat resmi bernomor 400.10.2/2990/112.2/2025 bertanggal 21 April 2025, yang ditujukan kepada seluruh Bupati se-Jawa Timur dan Wali Kota Batu.
Langkah tersebut merupakan tindak lanjut dari Rapat Konsolidasi Pelaksanaan Pilkades dan Penegasan Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa yang digelar pada 25 Maret 2025 lalu. Rapat itu mengacu pada regulasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 100.5.3.5/2523/SJ tertanggal 5 Juni 2024.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa pelaksanaan Pilkades harus mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan turunannya, khususnya perubahan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024. Ditegaskan pula dua poin krusial:
1. PAW tidak boleh digabung dengan Pilkades serentak. Pelaksanaannya wajib dilakukan secara terpisah sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Bupati/Wali Kota wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kepala Desa sebagai dasar dalam proses pemberhentian atau pengangkatan perangkat desa.
Ketegasan ini sekaligus menjadi peringatan keras terhadap sejumlah daerah yang terindikasi mencoba memaksakan pelaksanaan Pilkades PAW bersamaan dengan Pilkades serentak dengan dalih efisiensi. DPMD menilai, jika penggabungan ini dilakukan, maka selain cacat hukum, juga berpotensi mengacaukan tatanan pemerintahan desa dan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
Namun, ironisnya, di sejumlah daerah seperti Sampang, Lamongan, bahkan Ponorogo, ditemukan indikasi kuat adanya upaya menyiasati regulasi ini demi kepentingan politik lokal atau kepentingan kepala daerah tertentu. Praktik semacam ini tak hanya mencederai semangat demokrasi desa, tetapi juga menabrak aturan hukum yang telah disahkan bersama.
Sikap pemerintah pusat yang menekankan pentingnya evaluasi kinerja Kepala Desa juga menjadi sinyal bahwa jabatan Kepala Desa bukan sekadar posisi administratif, melainkan amanah yang mesti dikawal dengan integritas. Namun, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik: masih banyak kepala desa yang menjabat tanpa pernah dievaluasi secara objektif, sementara proses pergantian perangkat desa lebih banyak didorong kepentingan kelompok daripada hasil evaluasi kinerja yang sahih.
Sebagai media independen, kami melihat bahwa kebijakan DPMD Provinsi Jawa Timur ini patut diapresiasi sebagai bentuk penegasan terhadap supremasi hukum dan transparansi di tingkat desa. Namun, langkah tegas juga harus diikuti dengan mekanisme pengawasan dan sanksi bagi daerah yang melanggarnya.
Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan nyata, publik akan kehilangan kepercayaan pada komitmen penegakan hukum yang adil.
Masyarakat menuntut jawaban konkret, bukan sekadar janji kosong yang terus diulang tanpa realisasi.
Keputusan yang lambat dan tidak tegas hanya akan menambah frustrasi warga, sehingga perlu langkah cepat dan tepat dari pihak berwenang.
Kami sebagai media independen bersama masyarakat akan terus mengawal kasus ini sampai ada tindakan nyata, bukan sekadar wacana.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, gelombang protes dan desakan publik akan semakin kuat, menuntut keadilan dan perubahan nyata.
red